Berita Terbaru
Live
wb_sunny

Breaking News

Sertifikat Jaminan Fidusia Tidak Bisa Dijadikan Dasar Mengeksekusi, Selama Perjanjiannya Melanggar Klausula Baku

Sertifikat Jaminan Fidusia Tidak Bisa Dijadikan Dasar Mengeksekusi, Selama Perjanjiannya Melanggar Klausula Baku

Dr. Firman Turmantara E, S.H., S.Sos., M.Hum.
Bandung I lingkarkonsumen.com - Menyikapi maraknya eksekusi kendaraan oleh pihak Debt Collector (DC) perusahaan pembiayaan dengan mengantongi Sertifikat Fiducia (SF), itu belum dapat dikatakan legal selama perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dan konsumen tidak mengacu kepada peraturan  undang-undang yang ada.

Dengan kata lain, dalam melakukan eksekusi tidak cukup hanya ada SF, akan tetapi harus juga ada perjanjian, dan perjanjian itu harus sesuai dengan undang-undang

Menurut Direktur LBH Konsumen Indonesia (LBHKI) Dr. Firman Turmantara, dimana Eksekusi adalah tindakan atau perbuatan setelah dibuatnya/akibat dibuatnya suatu perjanjian. Eksekusi tidak akan ada kalau tidak ada perjanjian, jadi perjanjian dulu baru ada eksekusi, ungkapnya pada lingkarkonsumen.com, Selasa (21/11)

Perjanjian adalah bukti telah ada terjadinya transaksi (hubungan hukum) antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan dengan berbagai ketentuan,aturan main yang mengaturnya dan objek benda yg diperjanjikan.

Jelas pada pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa perikatan (hubungan hukum) bersumber pada 1 Perjanjian, dan 2 Undang-undang.

Sertifikat Fiducia (SF) adalah syarat yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomer : 42 tahun  1999 tentang Jaminan Fidusia. Tapi SF tidak ada gunanya kalau tidak ada perjanjian karena adanya SF sebagai syarat eksekusi, merupakan akibat adanya perbuatan yang melanggar perjanjian.

Salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah adanya kausa/sebab yang halal. Suatu kausa disebut halal apabila tidak melanggar undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.

Salah satu undang-undang yang berlaku di Indonesia adalah Undang-undan Perlindungan Konsumen UUPK Nomor 8 tahun 1999 yang didalamnya ada Pasal 18 tentang klausula baku dan POJK Nomor 1 tahun 2013 yang didalamnya ada pasal 22 tentang perjanjian baku.

Dengan demikian, perjanjian baku yang dibuat oleh perusahaan pembiayaan harus sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUPK 8/99 dan pasal 22 POJK 1/2013, dan kalau tidak sesuai melanggar akibatnya BATAL DEMI HUKUM, dianggap tidak ada perjanjian dan kondisinya dikembalikan kepada keadaan semula.

"dapat disimpulkan bahwa jika perjanjiannya Batal Demi Hukum, maka SF nya juga cacat hukum (tidak sah) karena terbit dari perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian."

Pasal 18, ayat 1 UUPK 8/99  "Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila dan seterusnya
Penjelasan Pasal 18 Ayat (1) " Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak."

Disamping itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 1339 KUHPerdaa bahwa suatu perjanjian harus memperhatikan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. UUPK adalah salah satu UU yang berlaku di Indonesia hukum positif.

By : Djunaedy

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.