Melihat Perlindungan Konsumen Dalam “Darurat Korupsi”
Buku "Paradoks Indonesia Dan Solusinya" (2023), merupakan edisi pemutakhiran buku “Paradoks Indonesia: Pandangan Strategis Prabowo Subianto” yang terbit pada 2017. Berisi tentang pikiran-pikiran strategis Presiden Prabowo Subianto guna mengentaskan persoalan yang membelit bangsa dan negara kita.
Di dalam buku ini, Prabowo menguraikan berbagai tantangan besar yang dihadapi Indonesia, khususnya dalam konteks ekonomi dan demokrasi. Prabowo menyoroti dua tantangan utama yakni 'ekonomi yang dikuasai pemodal besar' dan 'demokrasi yang dikuasai oligarki'.
Menurut Prabowo, 'Ekonomi yang dikuasai pemodal besar', disebabkan karena sistem ekonomi yang membuat kekayaan negara terkonsentrasi di tangan segelintir elit, dengan 66% kekayaan Indonesia dikuasai oleh 10% orang terkaya. Sedangkan, mengenai 'Demokrasi yang dikuasai oligarki', bahwa biaya politik yang sangat mahal telah menjadikan demokrasi Indonesia terperangkap dalam politik uang, di mana kekuasaan lebih banyak didikte oleh pemodal besar ketimbang oleh aspirasi rakyat.
Dari dua isu di atas, dapat dikatakan bahwa Prabowo menduga ada kaitannya dengan kebocoran uang negara dimana menurut penulis identik dengan praktik korupsi. Sementara, dalam program kerja Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran terdapat misi untuk memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Presiden Prabowo seringkali menegaskan komitmennya dalam memberantas korupsi. Dia menyatakan siap mengejar koruptor hingga ke wilayah paling terpencil di dunia demi menegakkan keadilan dan memastikan tidak ada tempat aman bagi para koruptor di Indonesia. Pernyataan itu bukan kali pertama disampaikan Prabowo Subianto.
Di sisi lain, korupsi yang terjadi di Indonesia demikian marak, paling tidak setelah terungkapnya dugaan korupsi yang melibatkan pejabat PT Pertamina Patra Niaga, istilah "Liga Korupsi Indonesia" menjadi viral di media sosial. Dan lengkaplah "Liga Korupsi Indonesia" ini dengan diberikannya "penghargaan" dari OCCRP (Organisasi tentang Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi) kepada mantan kepala negara ke-tujuh RI sebagai finalis koruptor dunia, serta adanya beberapa laporan dugaan korupsi beliau dan keluarganya ke KPK.
Dalam Liga Korupsi Indonesia menyajikan daftar kasus korupsi yang merugikan negara dengan nilai kerugian yang sangat besar. Setidaknya ada sebelas kasus megakorupsi yang layak masuk dalam Liga Korupsi Indonesia.
Kasus-kasus tersebut yaitu kasus Korupsi PT Timah (Rp 300 triliun), Kasus BLBI (Rp 138 triliun), Penyerobotan Lahan PT Duta Palma Group (Rp 78 triliun), Kasus PT TPPI (Rp 37,8 triliun), Korupsi PT Asabri (Rp 22,7 triliun), Kasus PT Jiwasraya (Rp 16,8 triliun), Korupsi Izin Ekspor Minyak Sawit (Rp 12 triliun), Korupsi Pengadaan Pesawat Garuda Indonesia (Rp 9,37 triliun), Korupsi Proyek BTS 4G (Rp 8 triliun), Korupsi Bank Century (Rp 7 triliun).
Dan terakhir, kasus korupsi Pertamina (Kerugian negara diperkirakan Rp 968,5 triliun). Kejaksaan Agung awalnya mencatat kerugian sebesar Rp 193,7 triliun untuk tahun 2023. Namun, dengan berjalannya waktu dan analisis yang lebih mendalam, total kerugian selama periode 2018-2023 diperkirakan bisa mencapai hampir Rp 1 kuadriliun. Kasus korupsi Pertamina ini dianggap sebagai kasus megakorupsi terbesar di tanah air.
Pertanyaannya, dimanakah hubungan antara korupsi dengan perlindungan konsumen ?
Dalam kasus korupsi Pertamina, kerugian masyarakat akibat Pertamax Oplosan Ditaksir Rp 17,4 Triliun per Tahun. Tampaknya pemerintah hanya fokus dalam menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi tata kelola minyak Pertamina dan Pertamax oplosan, padahal masyarakat sebagai konsumen juga dirugikan.
Kerugian masyarakat akibat Pertamax oplosan ini karena konsumen harus merogoh kantong lebih dalam untuk membayar BBM. Sementara Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka kasus impor minyak dan Pertamax oplosan. Kejaksaan Agung menyebutkan peredaran Pertamax oplosan dengan nilai RON lebih rendah dari RON 92 menjadi RON 90. (TEMPO.CO, 28 Februari 2025 | 19.38 WIB)
Dalam Liga Korupsi Indonesia, bukan hanya negara saja yang dirugikan, tapi juga rakyat yang jadi korban dimana pemainnya adalah para pejabat, politisi, aparat, dan pelaku usaha/pengusaha yang berselingkuh dengan negara.
Korupsi dalam proyek yang dilakukan pejabat dan pelaku usaha/pengusaha akan merusak pelayanan publik dan/atau kualitas infrastruktur yang digunakan oleh masyarakat/konsumen.
Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 UU Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Setiap orang, mulai jabang bayi sampai manula, termasuk pelaku usaha adalah konsumen. Konsumen tidak mengenal usia, gender, profesi, jabatan, status sosial dan lain-lain. Konsumen adalah seluruh rakyat Indonesia yang menggunakan/memakai (mengkonsumsi) produk barang dan/atau jasa (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, jasa transportasi, pelayanan publik, dan lain-lain).
Perlindungan konsumen pada umumnya selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang ilmu, karena pada tiap bidang dan cabang ilmu dan sektor-sektor ekonomi itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat "konsumen". Dengan demikian konsumen memiliki peranan penting dalam struktur perekonomian suatu bangsa dan disadari atau tidak, bahwa setiap warga negara adalah konsumen.
Perlindungan konsumen merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan, oleh karena itu menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia termasuk para pendiri bangsa Indonesia sejak kemerdekaan untuk dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat melalui upaya perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum bagi konsumen. Namun upaya perlindungan hukum itu tampaknya tidak berlaku bagi uang rakyat yang dicuri oleh koruptor, karena uang yang dikorupsi itu jarang dikembalikan ke negara, sehingga keluar dari penjara mereka tetap hidup dalam kemewahan menikmati hasil rampokan.
Karena itulah dari tahun ke tahun, daftar skandal korupsi bertambah panjang. Para koruptor tidak ada kapoknya melakukan penggarongan uang rakyat. Kasus dugaan Korupsi Retret Kepala Daerah, kasus Antam, kasus korupsi PLN, kasus korupsi pupuk, korupsi minyak goreng, kasus impor gula, kasus uang zakat di Baznas, kasus kuota haji, upeti dalam judi online terus bermunculan, sementara RUU Penyitaan aset terlunta-lunta sebagai bukti adanya perlawan dari para koruptor.
Korupsi di Indonesia bukan sekadar kejahatan individu, ia adalah sistem. Bukan sekadar penyalahgunaan kekuasaan, tapi bagian dari cara kerja negara. Tercatat paling tidak 5 menteri Kabinet pemerintahan yang lalu yang terlibat korupsi dan beberapa pejabat tinggi negara yang diduga korupsi masih berada di Kabinet saat ini, yang diusulkan oleh Forum Purnawirawan TNI untuk direshuffle.
Korupsi telah menjadi budaya yang diwariskan, sistem yang dilestarikan, dan mekanisme yang tak bisa dihapus hanya dengan sekadar membuat atau merubah regulasi. Presiden Prabowo sudah memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk mengembalikan aset-aset yang dikorupsi, tapi tampaknya mereka menganggap peringatan itu dianggap basa-basi. Oleh karenanya, sudah waktunya negara hadir untuk menghentikan para koruptor bersenang-senang, berpesta pora dan menyusun taktik strategi untuk lolos dari jeratan hukum.
Negara sudah berada dalam kondisi "darurat korupsi" (Presiden bisa mengeluarkan Perppu), maka tidaklah salah jika Prabowo membuat kebijakan yang mengejutkan yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilibatkan dalam menjaga/mengamankan kejaksaan. Walaupun penempatan personel TNI untuk menjaga kantor kejaksaan di seluruh Indonesia itu memicu gelombang kontroversi.
Pengerahan TNI untuk menjaga kejaksaan banyak yang menafsirkan sebagai langkah politik yang mengandung pesan ideologis, bahwa Presiden Prabowo ingin melakukan breakthrough terhadap lembaga hukum dan pemberantasan korupsi yang selama ini dianggap stagnan di era Presiden Joko Widodo.
Dalam hiruk pikuk perpolitikan nasional (termasuk isu "ijazah palsu"), diharapkan energi pemberantasan korupsi dapat fokus pada tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat/konsumen sehingga nasib konsumen bisa lebih baik, karena kebocoran dapat disumbat dan anggaran negara betul-betul terdistribusi untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.(*)
*) Penulis : Dr. Firman Turmantara End, SH., S.Sos., M.Hum dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Dewan Pakar Ekonomi Majelis Musyawarah Sunda (MMS)