Menaikkan Harga Obat Berkali Lipat Saat Pandemi Adalah Kejahatan Kemanusiaan
By: *Dr. Firman T Endipradja
Mendulang keuntungan dengan menaikan harga obat, vitamin, alat kesehatan berkali kali lipat pada saat pandemi adalah perbuatan yang amoral dan tidak berperikemanusiaan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan kemanusiaan. Betapa tidak, dalam menghadapi pandemi covid-19 yang sangat mengkhawatirkan ini karena dapat berakibat kematian, demi kesehatan orang tidak akan lagi menawar harga obat, vitamin, atau alat kesehatan (seperti masker, alat ukur oksigen, alat tensi darah dll), bahkan kalau perlu apapun dijual untuk keperluan itu.
Namun di tengah situasi sulit seperti saat ini, masih cukup banyak oknum penjual obat yang menjual obat untuk terapi covid-19 dengan harga selangit. Atas kondisi ini, Pemerintah melalui Kemenkes dalam peraturannya telah menetapkan 11 Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk obat terapi covid-19. Memang sudah seharusnya pemerintah membuat standar harga seperti HET ini pada komoditas inti. Sebetulnya memang komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup banyak orang harus ada standar harga atau yang biasa disebut dengan HET dan seterusnya.
Penetapan standar harga dengan HET ini sangat diperlukan saat sebuah komoditas kebutuhan hajat hidup orang banyak permintaannya meningkat. Dengan adanya peningkatan permintaan, maka harga akan lebih terkontrol karena adanya ketetapan HET tersebut. Penentuan standar harga ini wajib dilakukan pemerintah dalam rangka amanat konstitusi yaitu melindungi rakyat. Pemerintah sudah seharusnya hadir dengan berbagai ketetapan di saat terjadi gejolak harga.
Setelah penetapan HET, permasalahan tidak berhenti sampai disitu saja.
Walaupun sudah ada penetapan HET, pemerintah wajib menindaklanjuti dengan melakukan pengawasan dari implementasi ketetapan HET itu. Penetapan HET, pengawasan dan penegakan hukum/penindakan adalah satu paket (tidak boleh terpisah) karena hal ini dalam kondisi darurat (pandemi covid-19). Tidak boleh ada yang memanfaatkan situasi demi meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Praktek pengawasan itu dari dulu pada umumnya sudah ada, namun dilakukan asal asalan, tidak tuntas, tidak intensif, tidak integral dan tidak kontinyu. Jadi pengawasan hanya pada awalnya, ke sananya tidak ada lagi. Sebetulnya pengawasan itu ada dua jenis yaitu pengawasan rutin dan pengawasan insidentil. Pengawasan insidentil lah melalui beberapa Sidak yang seharusnya sering dilakukan dan tentunya harus berujung pada penindakan (law enforcement). Tapi justru inilah yang jarang dilakukan sehingga buktinya sangat jarang ada kasus yang sampai ke pengadilan.
Dengan kata lain, masyarakat ingin melihat ada penindakan tegas dan bahkan harus berat, pada pelaku usaha yang main main dengan ketetapan harga obat-obatan ini dikala orang tengah cemas, panik bahkan tengah terkena/positif covid, maka perbuatan ini jelas tidak beradab dan melanggar kemanusiaan. Sudah cukup memadai peraturan yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang memanfaatkan kondisi ini secara berlapis. Paling tidak ada 7 UU dan PP yang dapat menjerat pelaku usaha tersebut, yaitu secara umum (general) ada KUHPidana dan secara khusus ada UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955; UU Nomor 5 Tahun 1999; UU Nomor 8 Tahun 1999; UU Nomor 39 Tahun 1999; UU Nomor 36 Tahun 2009; UU Nomor 7 Tahun 2014; dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015.
*) Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI/Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan.