Menguji Sensitifitas DPR Atas Kesalahan Konstruksi Hukum Omnibus Law Ciptaker
☆ Oleh Firman Turmantara Endipradja
DR.Firman Turmantara Endipradja, S.H., S.Sos., M.Hum. |
Sejak digulirkannya ide penyusunan Omnibus Law pertama kali disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya di Gedung DPR MPR DPD RI pada 20 Oktober 2019, sampai saat ini omnibus law tidak sepi dari protes dan kritikan. Reaksi itu terkait beberapa hal yang kontroversial, seperti aturan yang menggerus hak-hak pekerja.
Sejumlah pihak menilai terdapat pelonggaran penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dalam draf omnibus law rancangan undang-undang (RUU) Ciptaker, hilangnya pesangon dan cuti haid. Upah buruh murah yang semakin mempersulit buruh di tengah serbuan buruh impor China yang siap dibayar lebih murah.
Aturan yang menghapus: IMB dan Persyaratan Amdal, sertifikat Halal, sanksi pidana bagi pelaku usaha. Belum lagi pemberian insentif pajak murah bagi para investor asing, sementara untuk warga negara Indonesia, hampir segala hal dikenakan pajak dan cukai. Hilangnya kata “kepentingan umum dan kesusilaan”. Definisi kepentingan umum berarti terkait kesejahteraan dan ketertiban masyarakat umum.
Masalah yang kontroversial lainnya adalah menghidupkan kembali pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yaitu ketentuan presiden bisa membatalkan peraturan daerah melalui peraturan presiden.
Ketentuan tersebut bersinggungan dengan konsep otonomi daerah dimana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UUD 1945 dikenal desentralisasi sehingga terdapat pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Rancangan Undang-Undang Ciptaker akan memangkas sejumlah kewenangan pemerintah daerah dalam pemberian izin. Setidaknya dari beberapa sektor, Pemda akan kehilangan otonominya dalam menetapkan izin pertambangan, energi, pertanian, penerbangan sampai bangunan gedung.
Selain itu tidak kalah membingungkan juga adalah mengenai adanya kewenangan Presiden untuk mengubah undang-undang dan mencabut, membatalkan peraturan daerah (Peraturan Pemerintah yang bisa cabut atau mengubah ketentuan UU). Ironinya, diantara pejabat negara sendiri menteri-menteri, penjelasannya/menjelaskan masalah ini berbeda-beda/tidak kompak, ada yang menyebut salah ketik, ada juga yang menjelaskan dengan mencari argumentasi, tapi tetap saja tidak rasional.
Di samping itu, pada aturan peralihan mengamanatkan omnibus law itu harus ada peraturan pelaksananya. Jika diamati dari pasal per pasal, setidaknya ada 500 peraturan pelaksana yang harus dibuat oleh kementerian terkait dalam waktu satu bulan. Padahal, sesuai dengan fungsi dan tujuan utama membuat omnibus law itu adalah untuk menyederhanakan peraturan perundang-undangan.
Yang tidak kalah menariknya bahwa, proses pembuatan omnibus law RUU Ciptaker ini cacat prosedur karena dibuat tertutup. Anggota tim satuan tugas (satgas) omnibus law dipaksa menandatangani pakta rahasia. Tim satgas dilarang menyebarluaskan isinya ketika menyusun draf omnibus law tersebut dan Tim satgas omnibus law ini lebih banyak diisi kalangan pengusaha dan minim partisipasi masyarakat.
Banyak orang kadang kadang lupa mengenai dampak negative dari adanya investasi. Harus disadari tidak semua investasi itu berdampak baik bagi masyarakat. Sebagian investasi justru berdampak buruk bagi masyarakat jika tidak dikendalikan. Investasi yang menabrak tata ruang wilayah dan lingkungan hidup, seringkali justru menyebabkan bencana ekologi. Investasi yang mengesampingkan hak asasi manusia (HAM) akan menyebabkan kesengsaraan terhadap buruh, tani, nelayan dan kaum miskin lainnya.
Omnibus Law akan memiliki sisi gelap bila aturan-aturan terkait tata ruang, lingkungan hidup dan HAM (termasuk perburuhan), dimasukan dalam katergori aturan yang menghambat investasi. Jika itu yang terjadi, mungkin pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa terjadi tapi dengan mengorbankan manusia dan alam yang tidak ternilai. Omnibus Law pada akhirnya hanya akan menjadi alat penyingkiran kaum miskin dari golongan nelayan, kaum buruh dan petani.
Sebenarnya yang menjadi hambatan investasi bukan masalah banyak dan berbelit-belitnya perizinan, melainkan lamanya proses perizinan tersebut karena menjadi peluang korupsi bagi aparat yang mengurusnya. Agaknya belum disadari oleh pemerintah bahwa sebagus apapun omnibus law dibuat untuk menyederhanakan prosedur berusaha/berinvestasi, namun jika tidak diatur mengenai reformasi dan pembersihan mental aparat birokrat pelaksananya, akan menjadi sia-sia. Karena apa gunanya Omnibus Law jika aparatnya masih bermental korup dan setia dengan budaya KKN.
Melihat kenyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa RUU Ciptaker ini telah menyimpang dari konsep awal omnibus law, yakni untuk menyederhanakan prosedur dari banyaknya peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, lewat konsep omnibus law, pemerintah memang tengah berupaya agar investasi tidak terhambat regulasi, namun menabrak hal-hal yang substansial, yakni rasa keadilan.
Seperti produk UU pada umumnya, omnibus law membutuhkan dukungan dan persetujuan dari DPR. Dukungan ini tidak akan lepas dari bagaimana hubungan presiden dengan DPR, meski rakyat saat ini sangat mengetahui partai yang saat pemilu menjadi lawan pemerintah sekarang sudah bergabung, dan tentunya pemerintah tidak kemudian jadi arogan, otoriter serta sewenang-wenang
Pertanyaannya, apakah DPR sensitif terhadap munculnya reaksi dan aspirasi rakyat serta adanya kesalahan konstruksi dan cacat prosedur hukum yang lebih banyak merugikan rakyat banyak ini, atau malah akan menjadi "stempel pemerintah". Semoga undang-undang yang memiliki ciri omnibus law yang membuat kegaduhan sosial ini tidak menjadi 'lonceng kematian' dan membuat kacau tatanan serta konstruksi hukum Indonesia, baik dari segi hirarki maupun materi hukum yang diatur.
☆DR.Firman Turmantara Endipradja, S.H., S.Sos., M.Hum./Dosen dan Pengamat Politik Hukum dan Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung.