Berita Terbaru
Live
wb_sunny

Breaking News

Tanggung Jawab Hukum Atas Kelalaian Yang Mengakibatkan Kecelakaan Tol Cipularang

Tanggung Jawab Hukum Atas Kelalaian Yang Mengakibatkan Kecelakaan Tol Cipularang

*DR. Firman Turmantara E, S.H., S.Sos., M.Hum.

Insiden kecelakaan beruntun dijalan Tol Cipularang kembali terjadi, Senin (2/9/2019). Kali ini, insiden terjadi di kilo meter 91 Purwakarta-Jawa Barat yang memakan korban total 28 orang korban meninggal 8 orang, 3 luka bakar dan 25 luka ringan.

Kecelakaan ini merupakan yang kesekian kali terjadi di jalan tol (Purbaleunyi/Cipularang) yang melibatkan setidaknya 21 kendaraan yang diawali dengan tergulingnya dump truck lalu kemudian menyebabkan kecelakaan beruntun.

Sebelumnya, pada *28 Januari 2019*, empat orang meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal bus di Jalan Tol Cipularang Kilometer 70.400 arah Jakarta di wilayah Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Data kecelakaan sebelumnya terjadi pada tanggal 3 September 2011 (kecelakaan penyanyi dangdut Saiful Jamil beserta keluarganya); 22 Desember 2012; 10 Juni 2013; 26 April 2014; 5 April 2015; 6 September 2016; 18 Mei 2017; 4 Februari 2018 dan 7 September 2019;

Dari data di atas dan hasil penelitian menunjukan bahwa, seringnya kejadian kecelakaan di tol Cipularang tersebut menunjukkan bahwa faktor manusialah yang paling mendominasi. Sedangkan lokasi kecelakaan terjadi di sepanjang km 90 sampai dengan km 100. Dengan melihat kondisi riil Tol Cipularang terutama ruas tol yang rawan kecelakaan ini tampaknya dapat diduga ada kesalahan/cacat desain, karena sejak beroperasi 2005, tol Cipularang selalu memakan korban jiwa akibat kecelakaan baik tunggal maupun beruntun.

Melihat dua fakta di atas (peristiwa dan lokasi kecelakaan) seharusnya jadi perhatian khusus pemerintah/pengelola jalan tol, karena satu nyawa saja sudah terlalu banyak untuk meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.

Namun faktanya mengisyaratkan masih lemahnya pengawasan dan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi masyarakat di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Dalam menentukan penyebab kecelakaan beruntun di tol Cipularang tersebut antara Kemenhub dengan Kemen PUPR sendiri sudah berbeda.

Kemenhub melihat karena masalah geometrik Tol Cipularang, sedangkan Kemenentrian PURN melihat kebih kepada perilaku pengemudi seperti adanya Truk Obesitas, truk yang menyusul dari sebelah kanan dan lain-lain.

Kecelakaan di tol Cipularang yang sudah berungkali terjadi dinilai terutama menjadi kegagalan Kemenhub dalam hal pengawasan terhadap pelayanan masyarakat di bidang transportasi dan Kemen PUPR. Tampaknya ada sistem pengaturan dan pengawasan yang gagal dilakukan oleh Kemenhub, dan minimnya pemeliharaan jalan tol oleh Kemen PUPR sehingga untuk kesekian kalinya terjadi kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa dan materi. Selain itu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tampaknya kinerjanya tidak optimal. KNKT harus bertanggung jawab untuk segera melakukan investigasi atas kecelakaan maut ini.

Dari sekian kalinya terjadi kecelakaan, tentunya saat ini harus benar-benar dicari penyebabnya dan sekaligus dicari siapa yang paling betanggungjawab secara hukum (siapa yang lalai dalam menjalankan tugasnya), terlepas kecelakaan ini sebagai persoalan nasib.

Kecelakaan itu sebagian besar karena ulah manusia termasuk (yang sering dilupakan) adalah instansi pemangku kepentingan (terkait).  

Oleh karena itu dalam insiden ini pihak Kemenhub, Kemen PUPR, KNKT, BPJT, PT Jasa Marga dan pihak terkait lainnya bisa dimintai keterangan dan kecelakaan ini berpotensi menjadi masalah pidana bila terbukti ada unsur kelalaian.

Seperti diketahui dalam UU No.38/2004 tentang Jalan disebutkan bahwa,  wewenang penyelenggaraan Jalan Tol berada pada Pemerintah, yang meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan jalan tol.

Jalan tol harus mempunyai spesifikasi dan pelayanan yang lebih tinggi daripada jalan umum yang ada. Oleh karena itu ketiadaan/ketidaklengkapan rambu-rambu lalu lintas di jalan tol dapat dikategorikan sebagai "kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan", sehingga bisa dikenakan ketentuan Pasal 63 UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 bulan atau denda paling banyak satu miliar lima ratus juta rupiah.

Peristiwa kecelakaan lalulintas ini bukan kecelakaan biasa, tapi ada maladministrasi dan human error berarti harus ada orang yang bisa dimintai tanggungjawab secara hukum termasuk tanggungjawab pidana.
Oleh karena itu dalam pemeriksaan kasus ini perlu diikutsertakannya Ombudsman untuk memeriksa otoritas terkait secara menyeluruh.

Aturan hukum dan bukti soal potensi pidana bukan isapan jempol. Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan soal kelalaian yang bisa menyebabkan kematian orang lain. Dalam aturan itu disebutkan, siapa pun yang karena kesalahannya menyebabkan kematian orang lain, maka bisa dihukum penjara paling lama lima tahun.

Ketentuan di atas berkaitan dengan Pasal 360 ayat (1) dan (2) dengan akibat yang berbeda. Ayat satu mengenai akibat luka berat, sedangkan ayat (2) akibatnya adalah luka sedemikian rupa. Nomenklatur putusan Mahkamah Agung menggunakan sebutan kealpaan mengakibatkan kematian/luka.

Selain KUHP, ada UU  No.22 tahun 2009 tentang Lalulintas Angkutan Jalan, UU No.38 Tahun 1999 tentang Jalan, dimana pemerintah dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap kegagalan pengawasan (SOP/TUFOKSI), kelengkapan rambu-rambu dan lain-lain.

Pasal 273 UU No.22 Tahun 2009 menyebutkan setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dipidana kurungan paling lama enam bulan atau denda maksimal Rp12 juta.

Pasal 273 ini dimaksudkan oleh UU adalah untuk memberikan pelajaran kepada pemerintah agar bertanggung jawab atas kualitas sarana prasarana jalan untuk lalu lintas masyarakat yang baik dan tahan lama serta aman penggunaannya.
Kaitan dengan tindak pidana ini, putusan Mahkamah Agung No. 354K/Kr/1980 dan putusan No. 205K/Kr/1980. Dua putusan ini menekankan bahwa kesalahan korban tidak menghapus penuntutan terhadap terdakwa.

Dari dasar-dasar hukum di atas dan jika dikaitkan dengan teori kesalahan dalam hukum pidana, secara kasuistik, sudah cukup banyak putusan pengadilan atas dasar adanya kealpaan/kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain yang relevan diajukan bagi pemerintah, dan sopir tak selalu sebagai pelaku tunggal.

Berdasarkan uraian di atas, korban atau ahli waris kecelakaan di tol Cipularang ini selain berhak mengajukan gugatan gantirugi, juga bisa mengajukan laporan polisi (proses pidana)

Oleh karena itu sesuai dengan asas praduga tak bersalah, semua yang terkait termasuk lembaga/instansi yang bertangungjawab terhadap keselamatan masyarakat pengguna jalan tol harus dibuktikan di pengadilan bahwa mereka tidak bersalah (mereka tidak melakukan kelalaian/kealpaan).


*DR. Firman Turmantara E, S.H., S.Sos., M.Hum.
- Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Univ. Pasundan.
- Ketua Asosiasi BPSK Jawa Barat.
- Ketua HLKI Jabar Banten DKI Jakarta.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.