Ketua INSTRAN : Keselamatan Angkutan Mudik
Penyelenggaraan angkutan mudik Lebaran merupakan peristiwa rutin tahunan yang dialami oleh pemerintah maupun masyarakat. Meskipun demikian, setiap tahun pemerintah selalu sibuk dan bekerja keras untuk dapat menyelenggarakan mudik lebih baik, yaitu lancar, aman, dan selamat.
Ketiga hal itulah yang menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan transportasi mudik Lebaran. Kenyamanan itu sifatnya bonus saja, tapi keamanan, kelancaran, dan keselamatan itu kebutuhan mutlak pemudik.
Transpor tasi yang berkeselamatan untuk mudik itu menjadi utama karena tujuan mudik adalah silaturahmi dengan orang tua atau sanak saudara di kampung. Silaturahmi bisa batal bila mudiknya tidak berkeselamatan. Pengalaman sebelumnya menunjukkan kepada kita semua bahwa sepeda motor rentan terhadap kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu, tidak dianjurkan mudik memakai sepeda motor karena sepeda motor tidak dirancang untuk transportasi jarak jauh, apalagi bila dinaiki oleh 3-4 penumpang, jelas itu rawan kecelakaan.
Pemerintah sebaiknya memiliki program yang sistematis untuk memindahkan mudik yang menggunakan sepeda motor ini ke angkutan umum. Untuk itu, angkutan umumnya harus berkeselamatan. Sayangnya, berdasarkan prediksi Kementerian Perhubungan, mudik dengan menggunakan angkutan umum (bus) tahun ini justru mengalami penurunan sebesar 2,11%, dari 4,42 juta (2016) menjadi 4,32 juta.
Sebaliknya, jumlah pemudik dengan sepeda motor justru diprediksi naik sebesar 18,18%, yaitu dari 5,14 juta menjadi 6,07 juta. Sedangkan yang menggunakan roda empat (mobil pribadi) naik 13,92%, dari 3,06 juta menjadi 3,48 juta.
Kelaikan dan Kenyamanan
Ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan animo masyarakat menggunakan bus umum untuk mudik, antara lain: tariff yang tidak pasti, tidak ada jaminan akan diturunkan di tujuan akhir, macet, kurang aman dan kurang nyaman, serta sulitnya mendapatkan layanan angkutan umum di daerah tujuan.
Daripada berspekulasi dengan ketidakpastian layanan angkutan umum, masyarakat akhirnya memilih menggunakan sepeda motor, meskipun capek, tapi lebih irit dan motor dapat dipergunakan untuk mobilitas di kampung. Meskipun demikian, kondisi ini tidak boleh terjadi terus menerus sepanjang masa, harus ada program yang jelas dari pemerintah untuk mengakhirinya dengan cara melakukan perbaikan layanan semua angkutan umum, terutama kereta api (KA) dan bus.
Layanan KA sekarang sudah cukup bagus, sehingga yang diperlukan hanya penambahan sarana saja agar dapat mengangkut jumlah penumpang yang lebih banyak. Sekarang yang perlu mendapatkan perhatian ekstra adalah layanan angkutan bus umum, terutama terkait dengan aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanannya.
Berdasarkan hasil pengecekan langsung di lapangan (rampcheck) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, dari 17.099 bus yang diperiksa, terdapat 14.890 pelanggaran. Adapun unsur pelanggaran itu mencakup unsur administrasi mencapai 4.796 pelanggaran (32,21%), unsur teknis utama 3.644 pelanggaran (24,47%), dan unsur penunjang 6.450 pelanggaran (43,32%).
Adapun total bus yang laik jalan mencapai 9.903 bus (57,92%), diizinkan operasional sebanyak 6.850 bus (69,17%) dan yang diberikan peringatan/harus diperbaiki sebanyak 3.053 bus (30,83%). Sedangkan yang ditilang dan dilarang operasional mencapai 4.796 bus (66,65%) dan dilarang operasional 2.400 bus (33,35%). (Sumber http://inspeksiditjenhubdat. co.id/kementerian/ display per tanggal 10/6 jam 12.31).
Banyaknya armada yang tidak diizinkan beroperasi itu mencerminkan buruknya kondisi angkutan umum kita. Jika armada-armada yang tidak diizinkan itu kemudian diam-diam dioperasikan untuk melayani para pemudik, tentu mengancam jiwa pemudik, karena jelas tidak berkeselamatan.
Kondisi angkutan umum yang buruk itu tidak terlepas dari kondisi objektif bisnis angkutan umum, baik di perkotaan, antarkota dalam provinsi (AKDP), maupun antarkota antarprovinsi (AKAP) yang tidak ekonomis lagi, sehingga jangankan untuk melakukan peremajaan armada, untuk pemeliharaan saja tidak mampu.
Banyak angkutan umum yang melakukan kanibalisasi untuk mampu bertahan. Wajar apabila saat dilakukan rampcheck di lapangan, ditemukan banyak yang tidak laik jalan.
Pembatasan Jam Kerja Pengemudi
Upaya untuk mewujudkan angkutan umum yang berkeselamatan itu, selain dengan perbaikan sarananya agar laik jalan, juga perbaikan sumber daya manusianya, dalam hal ini pengemudi. Pengemudi angkutan umum adalah kunci keselamatan layanan angkutan umum, tapi justru sering terabaikan nasibnya.
Kelelahan pengemudi, yang sering menjadi penyebab kecelakaan, kurang mendapatkan perhatian. Sampai sekarang belum ada operator angkutan umum yang melakukan pembatasan jam kerja pengemudi, terlebih untuk bus AKAP.
Padahal, pembatasan itu amat penting, terlebih saat arus mudik Lebaran karena jalanan pasti macet, sehingga waktu tempuh perjalanan tidak bisa diprediksi. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) sebetulnya telah mengatur mengenai pembatasan jam kerja pengemudi, seperti terbaca dalam pasal 90,
Ayat (1) jelas sekali bahwa, “Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Ayat (2), “waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam sehari”. Sedangkan ayat (3) “Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam”.
Amanat pasal 90 ini jelas sekali bahwa pengemudi angkutan umum mengenal pembatasan jam kerja, yaitu paling lama delapan jam sehari, dan itupun harus disertai istirahat minimum 30 menit setiap empat jam. Hanya dalam hal tertentu, “Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam” (ayat 4).
Meskipun demikian, amanat ini belum diimplementasikan di lapangan, karena operator enggan mengeluarkan biaya operasional yang lebih tinggi dengan menyediakan dua pengemudi, sedangkan regulator lemah dalam pengawasan. Sebetulnya operator akan tunduk pada amanat UU LLA J bila ada sanksi tegas dari regulator pada operator yang melanggar UU LLAJ.
Oleh karena itu, guna terwujudnya layanan angkutan umum yang berkeselamatan, momen penyelenggaraan angkutan mudik Lebaran 2017 ini hendaknya dapat dijadikan titik tonggak implementasi amanat pasal 90 UU LLAJ 2009 secara konsisten.
Saatnya perlu ada Peraturan Menteri Perhubungan atau minimum Peraturan Dirjen Perhubungan Darat mengenai keharusan bus AKAP menyediakan dua pengemudi dalam setiap perjalanan. Peraturan yang sama juga harus diterapkan kepada penyelenggara bus pariwisata yang perjalanannya lebih dari delapan jam.
Keharusan menyediakan dua pengemudi untuk bus AKAP itu suatu keniscayaan di musim mudik Lebaran, mengingat lalu lintas pada saat mudik dan arus balik selalu macet, sehingga jarak Jakarta–Semarang misalnya, tidak cukup ditempuh dalam waktu 12 jam. Jika hanya tersedia satu pengemudi, tentu amat berbahaya bagi keselamatan penumpang.
Kecelakaan Bus Rukun Sayur (2015) di Tol Cipali yang menewaskan 17 orang saat itu terjadi karena sopir terlalu lelah dan harus segera kembali ke Jakarta agar dapat mengangkut penumpang pada sore harinya. Mayoritas kecelakaan bus disebabkan oleh faktor pengemudi (yang lelah atau ngantuk), sehingga wajib ada dua pengemudi untuk AKAP dan bus pariwisata.
Jika untuk melaksanakan amanat pasal 90 UU LLAJ itu diperlukan subsidi dari pemerintah, sebetulnya juga tidak masalah mengingat penumpang kereta api dan kapal laut juga mendapatkan subsidi. Subsidi negara untuk penumpang angkutan bus itu bukan dosa, tapi bagian dari tugas negara untuk menjamin terselenggaranya angkutan umum yang selamat, aman, dan nyaman.
Ketiga hal itulah yang menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan transportasi mudik Lebaran. Kenyamanan itu sifatnya bonus saja, tapi keamanan, kelancaran, dan keselamatan itu kebutuhan mutlak pemudik.
Transpor tasi yang berkeselamatan untuk mudik itu menjadi utama karena tujuan mudik adalah silaturahmi dengan orang tua atau sanak saudara di kampung. Silaturahmi bisa batal bila mudiknya tidak berkeselamatan. Pengalaman sebelumnya menunjukkan kepada kita semua bahwa sepeda motor rentan terhadap kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu, tidak dianjurkan mudik memakai sepeda motor karena sepeda motor tidak dirancang untuk transportasi jarak jauh, apalagi bila dinaiki oleh 3-4 penumpang, jelas itu rawan kecelakaan.
Pemerintah sebaiknya memiliki program yang sistematis untuk memindahkan mudik yang menggunakan sepeda motor ini ke angkutan umum. Untuk itu, angkutan umumnya harus berkeselamatan. Sayangnya, berdasarkan prediksi Kementerian Perhubungan, mudik dengan menggunakan angkutan umum (bus) tahun ini justru mengalami penurunan sebesar 2,11%, dari 4,42 juta (2016) menjadi 4,32 juta.
Sebaliknya, jumlah pemudik dengan sepeda motor justru diprediksi naik sebesar 18,18%, yaitu dari 5,14 juta menjadi 6,07 juta. Sedangkan yang menggunakan roda empat (mobil pribadi) naik 13,92%, dari 3,06 juta menjadi 3,48 juta.
Kelaikan dan Kenyamanan
Ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan animo masyarakat menggunakan bus umum untuk mudik, antara lain: tariff yang tidak pasti, tidak ada jaminan akan diturunkan di tujuan akhir, macet, kurang aman dan kurang nyaman, serta sulitnya mendapatkan layanan angkutan umum di daerah tujuan.
Daripada berspekulasi dengan ketidakpastian layanan angkutan umum, masyarakat akhirnya memilih menggunakan sepeda motor, meskipun capek, tapi lebih irit dan motor dapat dipergunakan untuk mobilitas di kampung. Meskipun demikian, kondisi ini tidak boleh terjadi terus menerus sepanjang masa, harus ada program yang jelas dari pemerintah untuk mengakhirinya dengan cara melakukan perbaikan layanan semua angkutan umum, terutama kereta api (KA) dan bus.
Layanan KA sekarang sudah cukup bagus, sehingga yang diperlukan hanya penambahan sarana saja agar dapat mengangkut jumlah penumpang yang lebih banyak. Sekarang yang perlu mendapatkan perhatian ekstra adalah layanan angkutan bus umum, terutama terkait dengan aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanannya.
Berdasarkan hasil pengecekan langsung di lapangan (rampcheck) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, dari 17.099 bus yang diperiksa, terdapat 14.890 pelanggaran. Adapun unsur pelanggaran itu mencakup unsur administrasi mencapai 4.796 pelanggaran (32,21%), unsur teknis utama 3.644 pelanggaran (24,47%), dan unsur penunjang 6.450 pelanggaran (43,32%).
Adapun total bus yang laik jalan mencapai 9.903 bus (57,92%), diizinkan operasional sebanyak 6.850 bus (69,17%) dan yang diberikan peringatan/harus diperbaiki sebanyak 3.053 bus (30,83%). Sedangkan yang ditilang dan dilarang operasional mencapai 4.796 bus (66,65%) dan dilarang operasional 2.400 bus (33,35%). (Sumber http://inspeksiditjenhubdat. co.id/kementerian/ display per tanggal 10/6 jam 12.31).
Banyaknya armada yang tidak diizinkan beroperasi itu mencerminkan buruknya kondisi angkutan umum kita. Jika armada-armada yang tidak diizinkan itu kemudian diam-diam dioperasikan untuk melayani para pemudik, tentu mengancam jiwa pemudik, karena jelas tidak berkeselamatan.
Kondisi angkutan umum yang buruk itu tidak terlepas dari kondisi objektif bisnis angkutan umum, baik di perkotaan, antarkota dalam provinsi (AKDP), maupun antarkota antarprovinsi (AKAP) yang tidak ekonomis lagi, sehingga jangankan untuk melakukan peremajaan armada, untuk pemeliharaan saja tidak mampu.
Banyak angkutan umum yang melakukan kanibalisasi untuk mampu bertahan. Wajar apabila saat dilakukan rampcheck di lapangan, ditemukan banyak yang tidak laik jalan.
Pembatasan Jam Kerja Pengemudi
Upaya untuk mewujudkan angkutan umum yang berkeselamatan itu, selain dengan perbaikan sarananya agar laik jalan, juga perbaikan sumber daya manusianya, dalam hal ini pengemudi. Pengemudi angkutan umum adalah kunci keselamatan layanan angkutan umum, tapi justru sering terabaikan nasibnya.
Kelelahan pengemudi, yang sering menjadi penyebab kecelakaan, kurang mendapatkan perhatian. Sampai sekarang belum ada operator angkutan umum yang melakukan pembatasan jam kerja pengemudi, terlebih untuk bus AKAP.
Padahal, pembatasan itu amat penting, terlebih saat arus mudik Lebaran karena jalanan pasti macet, sehingga waktu tempuh perjalanan tidak bisa diprediksi. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) sebetulnya telah mengatur mengenai pembatasan jam kerja pengemudi, seperti terbaca dalam pasal 90,
Ayat (1) jelas sekali bahwa, “Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Ayat (2), “waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam sehari”. Sedangkan ayat (3) “Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam”.
Amanat pasal 90 ini jelas sekali bahwa pengemudi angkutan umum mengenal pembatasan jam kerja, yaitu paling lama delapan jam sehari, dan itupun harus disertai istirahat minimum 30 menit setiap empat jam. Hanya dalam hal tertentu, “Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam” (ayat 4).
Meskipun demikian, amanat ini belum diimplementasikan di lapangan, karena operator enggan mengeluarkan biaya operasional yang lebih tinggi dengan menyediakan dua pengemudi, sedangkan regulator lemah dalam pengawasan. Sebetulnya operator akan tunduk pada amanat UU LLA J bila ada sanksi tegas dari regulator pada operator yang melanggar UU LLAJ.
Oleh karena itu, guna terwujudnya layanan angkutan umum yang berkeselamatan, momen penyelenggaraan angkutan mudik Lebaran 2017 ini hendaknya dapat dijadikan titik tonggak implementasi amanat pasal 90 UU LLAJ 2009 secara konsisten.
Saatnya perlu ada Peraturan Menteri Perhubungan atau minimum Peraturan Dirjen Perhubungan Darat mengenai keharusan bus AKAP menyediakan dua pengemudi dalam setiap perjalanan. Peraturan yang sama juga harus diterapkan kepada penyelenggara bus pariwisata yang perjalanannya lebih dari delapan jam.
Keharusan menyediakan dua pengemudi untuk bus AKAP itu suatu keniscayaan di musim mudik Lebaran, mengingat lalu lintas pada saat mudik dan arus balik selalu macet, sehingga jarak Jakarta–Semarang misalnya, tidak cukup ditempuh dalam waktu 12 jam. Jika hanya tersedia satu pengemudi, tentu amat berbahaya bagi keselamatan penumpang.
Kecelakaan Bus Rukun Sayur (2015) di Tol Cipali yang menewaskan 17 orang saat itu terjadi karena sopir terlalu lelah dan harus segera kembali ke Jakarta agar dapat mengangkut penumpang pada sore harinya. Mayoritas kecelakaan bus disebabkan oleh faktor pengemudi (yang lelah atau ngantuk), sehingga wajib ada dua pengemudi untuk AKAP dan bus pariwisata.
Jika untuk melaksanakan amanat pasal 90 UU LLAJ itu diperlukan subsidi dari pemerintah, sebetulnya juga tidak masalah mengingat penumpang kereta api dan kapal laut juga mendapatkan subsidi. Subsidi negara untuk penumpang angkutan bus itu bukan dosa, tapi bagian dari tugas negara untuk menjamin terselenggaranya angkutan umum yang selamat, aman, dan nyaman.
Darmaningtyas, Ketua INSTRAN dan Ketua Bidang Advokasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia)
Sumber : Investor Daily