Berita Terbaru
Live
wb_sunny

Breaking News

Standarisasi Perjanjian Baku Dalam UU Perlindungan Konsumen

Standarisasi Perjanjian Baku Dalam UU Perlindungan Konsumen


lingkarkonsumen.com - Standar perjanjian baku antara konsumen dengan pelaku usaha diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen [UUPK 8/99].

Perjanjian Menurut KUH Perdata Pasal 1320 KUHPerdata mengatur syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: adanya kata sepakat; adanya kecakapan; terdapat objek tertentu; dan terdapat klausa yang halal.

Pasal 1338 ayat [1] KUHPerdata penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu: bebas membuat jenis perjanjian apa pun; bebas mengatur isinya; bebas mengatur bentuknya. Namun demikian, azas kebebasan berkontrak tidak benar-benar bebas sama sekali. 

Pasal 1337 KUHPerdata membatasi kebebasan berkontrak yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam hal ini, klausula yang halal dan tidak bertentangan dengan undang-undang artinya tidak bertentangan dengan UUPK 8/99, khususnya Pasal 18 yang mengatur [klausula baku].

Perjanjian Baku: Perjanjian Baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan dalam sejumlah perjanjinan tidak terbatas yang sifatnya tertentu.

Dapat juga sebagai wujud dari kebebasan individu pelaku usaha menyatakan kehendak dalam menjalankan usahanya.

Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian itu, Jika konsumen menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian, pilihan menerima atau menolak ini dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan “take it or leave it!”

Perjanjian Baku disebut juga perjanjian standar [standardized contract atau standardized agreement].

Klausula Baku [Pasal 1 angka 10 UUPK 8/99] adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Pada dasarnya, klausula baku tidak dilarang. Tetapi, dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen, Pasal 18 UUPK 8/99 menetapkan larangan membuat atau mencantumkan Klausula Baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang mengandung unsur atau pernyataan: mengurangi, membatasi, menghapuskan kewajiban atau tanggungjawab pelaku usaha, menciptakan kewajiban atau tanggungjawab yang dibebankan pada konsumen, dan letak serta bentuknya: sulit terlihat, tidak dapat dibaca dengan jelas, pengungkapannya sulit dimengerti.

UUPK secara tegas dan detil mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, serta hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha, termasuk pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang tujuannya merugikan konsumen

Tujuan Pengaturan Klausula Baku dalam UUPK 8/99 : 

a. Menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

b. Menyertakan kepentingan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha dengan cara merancang, menetapkan, dan

menuangkan klausula baku ke dalam dokumen dan/atau perjanjian baku yang digunakannya dalam bertransaksi dengan konsumen.

c. Kemungkinan terjadinya konflik tidak dikehendaki antara pelaku usaha dengan konsumen akan dapat dihindari.

Ada 8 unsur larangan pencatuman klausula baku apabila:

1. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak

tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Sanksi Perdata dan Sanksi Pidana: 

Klausula Baku Batal Demi Hukum, apabila: Isi klausula baku mengandung 8 unsur atau pernyataan yang dilarang; letak serta bentuk klausula baku sulit terlihat, tidak dapat dibaca dengan jelas, pengungkapannya sulit dimengerti.

Pernyataan batal demi hukum harus diajukan melalui gugatan ke PN oleh konsumen yang dirugikan.

[Pasal 62 ayat [1] UUPK]

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 18, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 [lima] tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- [dua miliar].

Permasalahan Perlindungan Konsumen Sektor Keuangan 

  1. Edukasi konsumen terkait produk dan layanan jasa keuangan kurang maksimal. 

  2. Menyelesaikan konsumen tidak cerdas dalam mengambil keputusan. 

  3. Asimentri informasi antara PUJK dengan konsumen.

  4. Sebagian besar dokumen perjanjian baku mengandung klausula baku yang melanggar Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen  Nomor: 8 tahun 1999 [UUPK 8/99].

  1. Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang menyulitkan karena PUJK menetapkan penyelesaian melalui pengadilan di wilayah yang jauh dari kedudukan konsumen.

  1. Banyak bermunculan lembaga pembiayaan yang menawarkan produk layanan jasa keuangan dengan syarat memberatkan konsumen 


Sumber : Ditjen PKTN, Kemendag RI.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.