Berita Terbaru
Live
wb_sunny

Breaking News

Komisioner BPKN: Masyarakat Tidak Perlu Bayar Hutang Pinjol

Komisioner BPKN: Masyarakat Tidak Perlu Bayar Hutang Pinjol

Dr. Firman Turmantara Endipradja, Komisioner BPKN RI 

Bandung
l lingkarkonsumen.com - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada saat memberikan keterangan pers di kanal YouTube Kemenko Polhukam RI, Selasa (19/10/2021) mengatakan, masyarakat korban pinjaman online (Pinjol) ilegal untuk tidak lagi membayar tagihan dari Pinjol Ilegal. Bagi para korban untuk melapor polisi apabila Pinjol ilegal masih meminta untuk membayar disertai dengan peneroran. 


Mahfud menegaskan, pihaknya hanya akan melakukan tindakan tegas terhadap pinjaman online ilegal. Oleh sebabnya, pinjaman online yang sudah ada izin dan sah diberikan kesempatan untuk berkembang, karena justru itu yang diharapkan. Tapi yang ilegal ini akan kita tindak dengan ancaman hukum pidana. Banyak pasal yang dilanggar oleh Pinjol Ilegal ini mulai dari pasal tentang tindak kekerasan dan juga pasal tentang perbuatan tidak menyenangkan yang ada di KUHP.


Pernyataan Mahfud MD tersebut mendapat tanggapan dari Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, Dr. Firman T Endipradja. 


Firman mengatakan, persoalannya apa beda Pinjol legal dengan Pinjol ilegal, apakah hanya persoalan ada ijin atau tidak? Bagaimana apabila dalam praktek penagikan kepada konsumen pinjol legal pun melakukan cara teror, kekerasan, intimidasi dan lain-lain seperti yang dilakukan atau dituduhkan kepada pinjol ilegal? Dengan kata lain, apakah pinjol legal tidak ada yang melakukan praktek penagihan kepada konsumen seperti pinjol-pinjol ilegal?


"Pada dasarnya bagi pelaku usaha, termasuk perusahaan Pinjol legal yang melanggar hak-hak konsumen, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah mengatur sanksi yang cukup berat, khususnya pelanggaran terhadap Pasal 8 dan Pasal 18. UUPK juga dapat mengenakan tiga sanksi sekaligus kepada perusahaan pinjol legal, yakni sanksi perdata (ganti rugi atau kompensasi) dan sanksi pidana (maksimal 5 tahun penjara atau denda 2 milyar vide Pasal 19 jo Pasal 62), serta sanksi administrasi/pencabutan ijin (Pasal 63)," Ungkap Dosen Hukum Perlindungan Konsumen Fakultas Hukum Universitas Pasundan ini. 


Baik Pinjol ilegal mapun Pinjol legal bisa dijerat dengan undang-undang ITE, UUPK dan peraturan yang dikeluarkan oleh OJK, diantaranya seperti POJK No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan SE OJK No 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.


Disisi lain, dalam perspektif hukum perdata, bila perjanjian tidak memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPerdata, menjadi cacat hukum dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Akibat hukumnya antara lain adalah prestasi masing-masing pihak harus dikembalikan dalam keadaan semula. Jadi, mengingat hutang adalah kewajiban yang harus diselesaikan, bahkan bila konsumen Pinjol sampai meninggal pun harus dibayar atau dikembalikan (diwariskan). Begitupun dalam kasus Pinjol baik legal ataupun illegal harus tetap menjalankan prinsip itu. Jadi, bila hutang (kewajiban) konsumen masih ada, tetap harus dikembalikan (dibayar) hingga lunas, setidaknya mencapai pokok pinjaman atau hutang, papar Firman menerangkan. 


Menurut Firman, langkah tegas OJK melalui Satgas Waspada Investasi bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, tidak cukup hanya menindak Pinjol ilegal, tapi juga terhadap pinjol legal yang melanggar hukum maupun melakukan tindak kejahatan. Karena tidak sedikit pengaduan konsumen atas tindakan pinjol legal yang melakukan teror, tindak kekerasan, perbuatan tidak menyenangkan, atau pencemaran nama baik terhadap konsumen.


"Namun apabila kepedulian pemerintah atas maraknya penagihan utang dari pinjaman online (pinjol) ilegal lewat pernyataan Mahfud MD ini mau dilakukan, agaknya tidak sebatas pernyataan semata, atau belum sempurna, tapi perlu diwujudkan dalam bentuk regulasi tentang tidak perlunya lagi membayar pinjol, sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dan yang lebih penting, konsekuensi hukum dari kebijakan ini adalah bahwa pemerintah harus menanggung pengembalian uang pinjaman yang telah digunakan oleh konsumen ke perusahaan pinjol ilegal," tegas Firman. 


Lanjut Firman, Hal ini perlu dilakukan agar mempunyai kepastian hukum yang jelas dan yang terpenting kebijakan pemerintah ini perlu dikawal atau dipantau sampai tingkat implementasinya di lapangan, supaya tidak seperti nasib kebijakan tentang relaksasi yang tertuang dalam POJK Nomor 11/POJK.03/2020, yang telah diubah dengan POJK Nomor 48 /POJK.03/2020, yang belum begitu optimal dirasakan manfaatnya terutama oleh masyarakat yang terdampak langsung covid-19. 


Firman menegaskan, angka pengaduan konsumen pinjaman online sejak sebelum pandemi covid-19 pun sudah cukup tinggi, ini bisa dilihat dengan masuknya pengaduan ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 



By : Mustafid

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.